mengeja namamu, jemariku lelah
kubiar sorot pensilku melaju saja
mengukir jalan terjal, batu kapur
terseok di langkah setapak
terjebak keputusasaan
tersapu heningnya pagi
kiranya ragaku mengendus
sebuah prasangka baikmu
mengucap namamu, mulutku kelu
layak jingga yang terlalu matangkan senja
padahal aku sang penakluk biru
jelaga mata buas milikmu
mungkin telah sanggup remukkan aku
yang kerap membangkang
definisi benci serta kecewa
mengingat namamu, batinku tercabik
di tiap jeda subuh menjelma embun
kau melenyap sembari mataku menutup
bangun dengan kalimat matahari
dicerna maksud kedatangan hujan
dan sembuhkan prahara langit
membran waktu bercinta
merengkuh namamu dalam doa, masih kulakukan
hingga uraturat menyatu dengan sajadah
menghisap sepanjang dimensi kata
sepertiga waktu bergelayut habis
mungkin tak sampai jauh
tak sampai ujung
bagimu sebuah kabar kematian
beku tanpa kenangan
tanpa wajah iba
(adindaretna, 2014)
No comments:
Post a Comment