ada sebuah pepatah,
"jika kamu sedang berusaha melupakannya, tapi gagal, cobalah ingat bahwa dia juga pernah berusaha mencintaimu, tapi gagal."
:)
ada sebuah pepatah,
"jika kamu sedang berusaha melupakannya, tapi gagal, cobalah ingat bahwa dia juga pernah berusaha mencintaimu, tapi gagal."
:)
aku adalah ranting dahan yang sengaja kaupatahkan dari tubuh pohon yang kekar
jatuh terkulai lemas dan berusaha menumbuhkan diri dengan pijakan tanah yang lembab paska diguyur hujan
aku menodai takdirku, ingin berusaha tetap hijau dan tak mau menjadi keriput
mendekap rerumput basah, menjadikan tubuhku tetap lapuk sedemikian rupa
melupakan sebuah elegi yang rumit sembari petang segera menjemput gelap
aku diguyur kekhawatiranku, menghitung detik demi detik, sisa masaku untuk membusuk
menyatu dengan alas pijakanku, mendekapnya dalam aroma liat yang tajam
menanti hingga ruas tulangku menggelora ke dalam akar-akar
aku dihisap dan tubuhku dicecap habis
menerka-nerka bagian mana yang akan kusinggahi setelah itu
menjadikanku abadi yang sementara
selamanya dalam sekejap
tubuhku tak terdefinisi, serat-serat darahku mengakar dalam jantungmu
pada suatu senja yang melemahkan sebagianmu, aku berbisik
"sepertinya, aku mengenali tempat ini"
kau tertunduk diam dan lesu, tak satupun kata terucap di benakmu
pagi hari, cerah dan merona di atap langit yang kerap menghidupkanmu dari tidur panjang
aku menyaksikanmu runtuh, terpenggal menjadi beberapa bagian
matamu sayu, sulit membedakan sebab sakit atau hanya sekadar lelah
atau mungkin mati?
di pucuk tanaman hias kini aku bersemayam
menetap dengan jeda waktu yang tak pernah kutahu hingga kapan
menjalani skenario sebagai jiwa yang lain, mungkin juga masih jiwaku
menyuburkan pijakanku sendiri, memahami makna hidup
dan kamu, pohon kekar tak berdaya yang kini tergeletak lemas di hadapanku,
terimakasih pernah menjadi rumahku, pijakanku, untuk tempat berlindung, berdiam diri, merengkuh impian, menanam harapan, memetik langkah
terimakasih pernah menjadikanku bagian dalam hidupmu
dan terimakasih telah membuatku akhirnya menemukan pijakan baru, setelah sebelumnya merasa tak berdaya ketika meninggalkanmu
(adindaretna - 2014)
untuk sebuah kepergian yang paling tulus, dengan sedikit ingkar di sela-sela kalimat "aku baik-baik saja", percayalah, aku jauh lebih baik sekarang. aku sedang menjalani skenario Tuhan yang sangat membuatku penasaran. hai, kamu. apa kabar? sudah lebih baik sekarang?
dan untuk mereka yang pernah menyebutku "manusia paling menderita seluruh dunia" aku harap Tuhan masih baik hati untuk tidak membalikkan keadaan seperti yang mereka katakan. tetaplah berjalan seolah aku lupa bahwa kakiku pernah menginjak pecahan kaca. anggap saja aku baik-baik saja, sampai nanti kau lupa bahwa aku pernah dalam keadaan "tidak baik-baik saja". kenapa harus aku? kenapa bukan kau?
.
.
.
.
.
.
.
dan ternyata aku jauh lebih baik dibandingkan dengan kepura-puraanku menjadi baik-baik saja.
selalu katakan, bahwa Allah itu sungguh Maha Baik.
😊😊😊
*latepost*
🌼adindaretna🌼
ada sebuah sesak yang masih mendekam di lubuk hati. tak mau dihembuskan meski telah berlalu selama sepuluh hari. sebuah kehilangan yang paling memukul jantungku hingga nyaris berhenti. melemahkan sebagian raga dan jiwa yang hari itu juga sebenarnya sedang direngkuh bahagia. menjadikannya seperti tak berharga, sangat tak ada artinya. mendeskripsikan hari itu sebagai hari paling kejam di seluruh hari yang pernah kulewati hingga detik itu. memaksa otakku untuk terus mengungkap makna dibalik getaran luar biasa yang kurasakan. hampir sulit mempercayai bahwa kenyataan memang sangat pahit. bahwasanya di dunia ini tak pernah ada yang abadi dan tak pernah seutuhnya bisa dimiliki. semuanya akan kembali dengan cara atau keadaan yang berbeda. definisi 'kembali' yang selalu kutatar dengan keegoisan diri bahwa semua hal pasti ada yang setuju dan tidak setuju.
kali ini aku setuju denganmu, Tuhan. aku memang egois. bahwasanya semua adalah milikMu, tak sepantasnya kuanggap semuanya adalah kepunyaanku di dunia yang kejam ini.
(adindaretna, 2014)
ada sebuah rasa 'entah' dan 'tak terdefinisi'. sebuah perasaan takut untuk mendeskripsikannya sebagai bentuk rasa kehilangan. belum sejauh itu, pikirku. namun, seolah telah sangat siap untuk mengetahui satu hal bahwa aku akan kehilangan. lagi-lagi aku berbisik "dia belum sejauh itu".
waktu telah mendewasakan keadaan. sebuah garis masa yang terus akan tergores seiring kaki kita melangkah. sebuah perasaan 'entah' ini terus mengusikku hari ini. mungkin Hypophrenia, --seperti tweet yang barusan saja dia retweet-- yang cocok untuk menggambarkan kondisiku saat ini.
(adindaretna - 2014)
di suatu pagi yang cerah, yang bahagia. saling mencari untuk sebuah kabar gembira yang ingin kita bagikan satu sama lain. bahagiamu yang terefleksi oleh kalimat-kalimat rendah diri. seolah kamu tak pantas mendapatkan itu. seolah posisimu serba salah. seolah kamu merasa beruntung, tapi tak bisa mengekspresikannya dengan cara yang normal. bahagiamu bahagiaku juga, kawan. sedihmu, sedihmu sendiri. hahahahaha. aku bercanda. sedihmu tak akan pernah kubiarkan untuk lama-lama terbendung di matamu. jika memang harus kaulepas jatuh, jatuhkanlah hingga ia menyentuh tanah dan menembus bumi lalu alpha ditelan perutnya. iya, aku akan selalu menemanimu dalam batas yang sewajarnya, seperti kamu yang pernah berkata "aku tidak akan pernah meninggalkan kawanku meskipun aku ditinggal pergi olehnya". dan baiklah, kita adalah sepasang sepatu, selalu bersama tapi tak bisa bersatu. karena mencintaimu adalah hal yang paling ajaib jika itu sampai terjadi. karena cukup menjadi tempat sampah bagimu sudah membuatku sangat berarti berada di sisimu.
by the way, terimakasih untuk beberapa minggu yang menenangkan ini ya. ah, aku memang lebay dan alay, seperti katamu. menjadi orang yang berjalan disampingmu dan terasa nyaman tanpa ada perasaan lebih kecuali sayang untuk sahabat sepertimu itu memang langka. dan untuk kebahagiaanmu pagi ini, aku ucapkan selamat! selamat menempuh hari yang baru, hari yang akan lebih indah dari sebelumnya, hari yang akan lebih bersemangat, lebih berwarna, lebih cerah, lebih bermakna. disamping aku telah mewujudkan satu mimpiku, ternyata kamu juga telah mewujudkan satu mimpi khayalmu untuk mendapatkan sebuah cinta yang tulus. hmmm :)
tugas kita belum selesai, kawan. perjalanan kita masih sangat panjang. hidup baru saja dimulai sekarang. dan bolehkah aku untuk selalu ada di langkah-langkah perjuanganmu? menjadi tempat sampah yang terus kaucari ketika dunia telah kejam kepadamu? hehehehe. aku alay dan lebay ya.
"kita adalah sepasang sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu." Tulus - Sepatu
(adindaretna - 2014)
potongan-potongan kertas warna-warni, bertuliskan rasaku untukmu. kugambar dengan sangat hati-hati dan dengan sebuah harapan yang tinggi. terkumpul waktu 14 hari untuk menyelesaikan semua menjadi satu hal yang amat kubanggakan. butuh 8 hari untuk mengukir dan melukis kata-kata dengan membubuhkan warna yang cantik agar sedap dipandang. butuh 3x24 jam untuk merangkai satu per satu menjadi sebuah rangkaian cerita singkat yang mengagumkan. tanpa tidur sama sekali. butuh 2 hari untuk menjadikannya sebuah film pendek dengan software yang kadang error ketika sudah sampai di tengah cerita. kadang sering harus mengulang dari awal. kadang juga harus berhenti mendadak di tengah penyusunan. ternyata se-berjuang inikah caraku untuk menyatakan bahwa aku sayang kamu? sisanya, 1 hari kugunakan untuk mengunggahnya ke situs populer YouTube. iya, aku membuatkanmu video stopmotion pertama kali yang membutuhkan waktu 14 hari untuk menggarapnya. aku terkesan menyiksa diriku sendiri ya, hehehehe. kamu tau kan, aku ikhlas kok melakukannya,........waktu itu. :)
kini, material potongan-potongan kertas yang cantik itu sudah jadi abu. jadi sampah. :)
aku membakarnya dengan sebuah harapan besar, abu itu tak akan menjadi utuh kembali seperti sediakala. karena itu tak akan pernah mungkin terjadi. sebuah akhir yang sudah terjadi di depan mata tak akan pernah mungkin kembali lagi menjadi awal, dengan rasa yang sama.
(adindaretna - 2014)
siang yang melarutkan pagi dengan kejam. hawa panasnya serta merta mengusik tubuhku yang masih inginkan sejuk mendekap. ah, rupanya memang sudah siang. pukul 12 lewat 19 ini aku terbaring di tempat tidur kamarku. ada sesuatu yang sedang mengganggu sistem imun di tubuhku. sebenarnya masih terlalu sehat untuk mengatakan bahwa aku sakit, pun sebaliknya. aku sendiri tak tahu persis apakah aku sedang sakit atau sudah sembuh. hmmm...
aku sudah lebih baik meskipun beberapa orang sempat menemuiku 'terlihat' bahagia dengan hidupku sekarang. hahahaha. maaf kalau aku tertawa setelah menyebut kalimat di atas. ada beberapa hal yang membuat hidupku dalam waktu terakhir terlihat berbeda. pertama, aku mempunyai 'obat', aku mengkonsumsinya setiap saat meskipun aku baik-baik saja dan meskipun tidak sedang divonis sakit hati. kedua, aku mendapatkan layang-layang yang memiliki bentuk yang indah setelah sebelumnya aku hanya bisa menatapnya saja dari kejauhan. ketiga, aku telah membakar benda yang merefleksikan waktu secara nyata dan tampak, kemarin pagi ketika cuaca hatiku sedang buruk. keempat, ada beberapa orang yang kuanggap tidak baik yang sudi ingin tahu perkembanganku. hahahahahaha. boleh aku tertawa untuk hal nomor empat? hahahahahaha.
siang ini random, ya? ada baiknya aku pergi tidur siang.
(adindaretna - 2014)
teruntuk hati yang masih berusaha mengikhlaskan.... sebuah kepergian tak ada yang terlepas dari kata ketulusan. seperti halnya pertemuan, tak pernah luput untaikan perpisahan disampingnya. selalu dan selalu. mempercayai bahwa takdir Tuhan akan bergegas menyadarkanmu tentang mimpi-mimpi yang kau anggap baik. melupakan bahwasanya kita memiliki sebuah ketetapan semesta yang tak pernah sekalipun diragukan. bahwasanya sebuah pertemuan pasti ada perpisahan. sebuah pepatah klasik yang sulit diterima oleh hati yang terlanjur ditinggal pergi tuan rumahnya.
kembali menyadari satu hal bahwa ini bukan pertama kalinya aku ditinggal cinta pergi. cinta tak pernah pergi, cinta selalu tinggal disini, dalam hati. seseorang yang selalu kukira jawaban Tuhan dengan anggapan bahwa aku adalah tulang rusuknya, telah mematahkan hatiku, meninggalkannya berserakan tanpa memberi sebuah alasan pasti kenapa ia memilih untuk pergi. menanggalkan semua ikrar dan persembahan yang kerap membuatku melambung tinggi. kini, aku terhempas ke tanah kesakitan yang penuh dengan lumpur dan kerikil tajam. aku sedang terluka parah, berharap ada yang membawaku ke rumah sakit terdekat, atau memilih untuk aku sendiri yang mengobati dan menyembuhkannya, karena aku sang tenaga ahli kesehatan, aku juga hapal beberapa nama dan fungsi obat meskipun aku tahu itu konyol dan sebenarnya tidak membantu.
masih tentang sebuah kepergian, entah apakah Tuhan selalu menyisipkan pertemuan selaras ketika Dia menciptakannya, atau Tuhan masih memberikan jeda yang panjang untuk membuktikan bahwa kita pantas memiliki pertemuan yang panjang. aku sudah sampai di garis finish yang kaugambar dengan kapur patahmu. aku telah berdiri disini sejak dua bulan silam. menunggumu menarik lenganku dan mengajakku untuk kembali ke garis start. bodohnya, aku masih melakukan itu. aku berdiri di tepi garis ujung dan masih memandangmu berjalan pelan bersama wanita itu. wanitamu kini. entah masih samar-samar bahwa kau dan dia sedang berjalan pula menuju arahku tempat kakiku berpijak. entah. aku hanya ingin memahami satu hal, sebuah kepergian yang kugenggam perlahan-lahan akan kulepas dengan sangat hati-hati. agar nantinya hal itu tak akan pernah menyakitimu, menyerangmu, dan membunuhmu, seperti yang mereka lakukan kepadaku. biarkan aku melepasnya dengan sebuah keikhlasan yang paling ikhlas sedunia. berjalan menyusuri jalan setapak ini sendirian. merengkuh mimpi-mimpiku yang belum terwujudkan, tentunya tanpa menghadirkan kamu di dalamnya. karena kamu tak lebih dari sebuah mimpi yang telah kuraih, kubanggakan, dan kini nyaris terlupakan.
"ada sebuah jejak kaki yang tertinggal pasrah, di garis akhir yang kaugambar dengan jelas. rupanya sepasang kaki itu sudah tak lagi berdiri disitu. ia telah lelah berdiri dan menanti. rupanya ia memilih untuk benar-benar pergi. menjalankan skenario Tuhan yang lain, dengan segenggam mimpi di tangan kanannya. ia membuang jauh mimpi kelam tentang sebuah kepergian yang menyesakkan. kali ini ia cukup kuat untuk melangkahkan kakinya. garis finish itu merupakan titik awalnya untuk kembali melangkah. berbesar hati merengkuh sebuah perpisahan, sambil tetap hidup dan bernapas. tentunya juga dengan bahagia."
(adindaretna - 2014)
kamu tak perlu berbohong untuk menjaga perasaan sebuah cinta
karena lebih menyakitkan mengetahui bahwa selama ini kau tak pernah mencintainya
padahal ia selalu berharap kaulah yang akan menemaninya hingga akhir hidup
dia selalu berdoa agar kaulah yang selalu menjadi rumah untuk melepas segala penat yang ia rasa
ia berpesan pada Tuhan agar mengambil sebagian hatinya dan menanamkannya padamu
namun ia lupa tak pernah memohon sebuah timbal balik
mungkin akan sakit sekali
nyatanya memang amat sangat sakit sekali
kini ia mengetahui satu hal, bahwa selama ini cintanya bertepuk sebelah tangan
ia memberimu 80, sedangkan kau hanya 20
ia terlalu menggebu-gebu, pikirmu
ia jatuh sakit dan terpuruk
ia hampir bunuh dari, hampir ingin mati
ia terluka, tetapi ia berkata lebih baik begini
lebih baik mengetahui ini lalu kecewa, daripada tidak pernah tau dan selalu berharap
kini ia tersenyum
karena berhasil melepas kupu-kupu yang tak ingin digenggam terlalu erat
membiarkannya hidup di alam bebas
menyaksikannya jatuh cinta dengan bunga yang cantik
memandangnya dari kejauhan
dan mengerti akan satu hal
bahwa cinta memang tak bisa dipaksakan
sekalipun doa dapat mengubah segalanya
tibalah saat untuk benar-benar pergi
dan berhenti menyaksikannya dari kejauhan
pergi untuk belajar menggenggam kupu-kupu dengan baik
mungkin bukan kupu-kupu, mungkin tak mau lagi kupu-kupu
kini ia teramat sanggup untuk pergi
mengikhlaskan sebuah hal paling rumit yang pernah dunia ciptakan
bahwa cintanya tak harus kumiliki
diantara cinta-cinta yang berhak dan pantas kumiliki
untuk kesekian kalinya ia tersenyum dan berkata:
selamat berbahagia yang sesungguhnya!
pada suatu masa yang tubuhnya terlukis warna biru jingga
yang aku sempatkan pula untuk sejenak mengukir senyum
dan melabuhkan sekecap kalimat peluruh rindu
di sejengkal jarak yang tega mengurung kita
membasuh perlahan, seluruh kering dalam dinginmu
agar aku senantiasa mengucap syukur
selalu berterimakasih kepadaNya
karena diperkenankan (merasa) memilikimu
pada suatu masa yang masih biru jingga
terdapat kabut tebal abu-abu menggelapkan hamparan langit
mengetuk pintu rumah pemilik angkasa
menuturkan bahwa ia dahaga
dan segenap biru melunturkan jingga
mengupasnya kian pasrah
lalu meniupnya perlahan ke hamparan rumput
mengubahnya menjadi samudera
dan kembali pada benak awal yang (merasa) kumiliki
nampaknya ia akan selamanya menjadi laut lepas
mengombak seolah ingin menyampaikan sesuatu
menghempas karang yang lebat seolah dihalau oleh takdir
pada suatu masa yang sudah tak lagi biru jingga bagiku
masih ada biru jingga milikNya
sebab selama ini aku hanya merasa memiliki
sebuah abu-abu yang kupikir biru jingga
sebuah masa dimana aku selalu sisipkan senyum sembari menatap waktu di jam kembar ini, dulu :)
"setelah dari tempat parkir ini kita harus beranjak pergi. aku akan pulang ke rumah, begitu juga kau. dan rupanya rumah kita berbeda, meski kita sempat menempuh beberapa kilometer jalan bersama-sama. hingga di suatu persimpangan, kau memilih haluan ke kanan, sedangkan aku terus melaju menuju rumahku. kau telah sampai di rumahmu, di persinggahanmu, sedang aku masih saja melaju dengan kecepatan ringan dan belum juga sampai di rumahku. kau telah melepas penat sedangkan aku masih berkutat dengan lelah. kini, aku menyadari bahwa jalan kita telah berbeda. terimakasih telah menemani sepanjang perjalanan yang melelahkan, selamat beristirahat di tempat persinggahanmu yang baru!"
(adindaretna - 2014)
"hai, selamat bertemu lagi
aku sudah lama menghindarimu
sialku lah kau ada disini
sungguh tak mudah bagiku
rasanya tak ingin bernapas lagi
tegak berdiri di depanmu kini
sakitnya menusuki jantung ini
melawan cinta yang ada di hati"
detak jam seolah terhenti. mendapatimu hadir kembali di suatu ruang yang tak akan pernah kukenali. selembar kertas yang tersobek dan lusuh, membuka perlahan...masih berisikan ingatan yang pudar. coretan tangan yang hingga kini masih enggan mendeskripsikan maknanya. masih berisikan warna-warna yang hampir pudar, hampir sebagian sirna. mendapatimu hadir kembali, di depanku yang sebenarnya masih belum cukup waktu untuk membereskan sisa-sisa kepingan yang kau porak-poranda dua hari yang lalu. masih berisikan sajak yang kerap menelan namamu di tiap bait-baitnya yang patah. masih patah, dan kini semakin patah.
"bye, selamat berpisah lagi
meski masih ingin memandangimu
lebih baik kau tiada disini
sungguh tak mudah bagiku
mengehentikan segala khayalan gila
jika kau ada dan ku cuma bisa
meradang menjadi yang di sisimu
membenci nasibku yang tak berubah"
padahal langit bisa saja menentangku untuk pergi. menurunkan taring-taringnya yang kecil agar aku tak memutuskan untuk berlayar. padahal ia bisa saja memilih untuk berlayar sendiri, tanpa aku, tanpa kap mesin, tanpa ikrar, tanpa sebuah kata 'harus'. Tuhan memilih untuk lebih mendengar hati daripada aku. padahal, boleh jadi aku yang bersikukuh untuk tinggal, padahal aku berdoa agar lekas pergi. semua berjalan seperti saat tanganmu menyentuh air mengalir. kamu tak akan pernah sanggup mengembalikan aliran yang sama persis dan menyentuh air yang sama seperti pertama kali. dan untuk jalan Tuhan hari ini, entah aku harus menyentuh doa yang sama seperti sediakala, ataukah mencuri patahan kata yang masih tersembunyi dalam lubuk hati. hingga Tuhan menamparku dengan sangat keras hari ini, mengingatkan padaku tentang dusta yang masih saja merengkuh hati. tak tau kapan waktu untuk pergi, tak tau kapan harus tinggal.
"berkali-kali kau berkata
kau cinta tapi tak bisa
berkali-kali ku telah berjanji
menyerah"
akhir dari sebuah lelah yang panjang, tentang kebohongan hati untuk mengungkap rindu yang masih tersembunyi. hari ini telah kuluapkan. sedikit melegakan yang sebelumnya amat terasa sesak.
hai :) (selamat bertemu lagi)
:) (aku sudah berapa lama menghindarimu?)
hmm..kamu kok disini? :) (sial, kenapa kamu disini)
sendirian aja? :) (ini nggak semudah yang kamu kira lho, hahahaha. aku hampir susah napas)
oke :) (calm down, harus tetap tegar di depan kamu)
bye, hati-hati di jalan ya :) (selamat berpisah lagi)
:') (masih ingin lihat kamu sebenarnya)
:'') (tapi lebih baik kamu memang harus pergi)
:''')
song lyric by: Tahu Diri - Maudy Ayunda
10 September 2014,
menjadi hari luar biasa dalam sejarah kita.
(adindaretna - 2014)
aku masih merasakan itu kamu, yang dulu kerap menempa keluh kesahku akibat kejamnya dunia yang kulalui di bagian perjalanan menuju cita-citaku. kamu yang menjadi tempat beristirahat sebab kelelahanku akibat menjalani berbagai hal yang menjemukan. masih kamu yang kutemui, di beberapa bunga mimpi yang tak sengaja kupetik secara tak beraturan. aku rasa, kamu tetaplah kamu yang menurutku belakangan telah banyak berubah, bahkan berbeda sama sekali. aku rasa kamu akan selalu tetap menjadi kamu, seacuh apapun aku terhadapmu kelak, dan sebenci apapun aku kemarin, kamu tetaplah kamu. it's always been you. it's always been me, too.
"hai, selamat bertemu lagi
aku sudah lama menghindarimu
sialku lah kau ada disini
bye, selamat berpisah lagi
meski masih ingin memandangimu
lebih baik kau tiada disini.."
selamat malam, kamu. selamat berjuang meraih mimpimu. aku akan selalu mendoakanmu, disini. di dunia yang aku selalu berharap tak akan pernah ada kamu lagi.
miss you!
pagi pagi sekali hening menyambut kedatanganku
senyum merekah bougenville basah oleh embun cantik
hai, perkenalkan ia temanku
teman bersandingku kala pagi
ketika sejuk mendominasi taman ini
sebiru ini langitku
setenang ini menghirup pagiku
dan untuk pagi yang sudah sudah
terhirup wewangi kelopak mawar
lama lama anyir, membusuk
ternyata tangkai mawarku patah
dan sudah terlambat menyadari
aku berusaha mengobati
ternyata malah tanganku terluka
lalu kuacuhkan saja hingga berdarah darah
"(tak apalah) hingga habis"
pikirku (pendek)
sudah berulangkali aku belajar menggenggam setangkai mawar ini
sudah sejauh ini aku mencoba
namun selalu ada luka, selalu berdarah
apa yang salah?
jari jariku tak mampu merasakan nyeri lagi
sudah mati rasa
sudah sejauh ini aku mencoba menggenggam setangkai mawar ini
namun selalu berdarah
kuulangi lagi kalimat ini
apa yang salah?
jika memang jemariku tak pantas menggenggam setangkai mawar ini,
lantas apakah jemarinya sanggup melakukan ini tanpa berdarah? tanpa terluka?
salah siapa?
siapa salah?
jemarinya sama saja seperti jemariku
setangkai mawar akan selalu menjadi setangkai mawar
dan tak pernah berubah menjadi setangkai Chryssant
ini, setangkai mawar untukmu, tak lupa dengan duri duri khas di tubuhnya
nikmati genggamannya yang erat, ia akan memelukmu dengan sangat keras
mungkin akan lebih berdarah
mungkin akan lebih terluka
mungkin akan lebih merana
"selamat menikmati pagimu dengan setangkai mawarku yang penuh duri,
pagiku masih cerah meski tanpa tanaman mawar menghiasi taman ini"
(adindaretna, 2014)
kadang masih menyesali plot yang terhenti di bagian ini, pada kalimat yang rumpal
namun jika kualunkan sekali lagi, nadanya pas dan sangat merdu didengar
kadang kau terus memikirkan beberapa cerita hidupmu yang seringkali mengalami patah sebagian
namun kau lupa jika pilihan Tuhan memang berat untuk diterima oleh akal sehatmu, lalu kau terlanjur menghardikNya dengan sebuah ungkapan 'tak (pernah) adil'
"di bagian mana nada yang kaudengar masih sumbang? masih terdengarkah kini jika kuubah dengan pilihan nada sesuai keinginanmu? masih lebih baik mana dengan pilihan nada dariku? lebih merdu mana? masih mengelak? kalau begitu, ini karma untukmu." - Tuhan.
(adindaretna - 2014)
dialog kopi dengan senja
di suatu sudut meja kafe, sepasang penikmat kesendirian duduk berhadapan
saling tak mengenal
aku mengaduk kopi, sedang ia menyeruputnya
'kali ini kopiku terasa lebih manis dari biasanya', ucapmu
lantas, kita saling melepas pandangan
- permulaan kita, di suatu sore
seporsi donat tak utuh dengan dua gigitan di tepinya
barangkali ia sibuk menanti seseorang
wajahnya sering menajam pada mesin waktu
aku mainkan seribu cara untuk menepis cemas
kadang lengan cangkir kuremas
dan acuhkan dahaga yang meletup letup
mataku terjun bebas dari tatapan hangat
seorang lelaki rapih, yang sedari tadi mengetas hening
di hadapanku
deadline sialan!
andai saja ia menyadari satu hal
beberapa menitku terlewat dengan sia sia
tanpa dialog yang menjadikan angka angka ini
terasa lebih berharga, dibanding sunyi
dan andai saja ia juga menyadari
pantulan dari layar gadgetku
munculkan refleksinya, meski senyum tampak samar
siapakah ia? mengapa harus bertemu deadline di saat seperti ini?
kopiku sudah tak mengepul, begitupun -nya
sedari awal, aku telah yakin
tentang kata dalam hati yang meredam emosi akibat angka angka ini
tentang senyum yang membekas di ingatan
di suatu senja, kopiku lantas mengucap perpisahan
tetapi dialog sudah tak lagi membisu
aku menduga maksud Tuhan sore ini
rupanya aku, takdir sedang berjalan beriringan
mengajakku untuk menikmati kopi
dan merengkuh kisah di lengan cangkir miliknya
"hai! namaku senja. kamu kopi, kan?
ini sore yang indah, bukan?"
-fiksi, permulaan kita-
(adindaretna, 2014)
aku berjalan menyusuri jalan setapak yang pernah mereka inginkan. aku telah menapaki setiap kerikil dengan kakiku, kaki telanjangku, meski penuh darah mengalir dan membekas di tiap langkahnya. hingga (makin lama makin) mengering. aku telah sejauh ini, atau aku baru sampai disini?
kita berjalan beriringan dengan bahagia yang paling bahagia. kau ulurkan tanganmu, tapi tak pernah dapat kuraih lagi. kucoba membalas senyummu, tapi tak pernah bisa lagi bibir ini merekah seperti dulu. terlalu beku, sebab dingin yang amat terbiasa kurasakan, sendirian. aku lupa bagaimana cara mencium aromamu. indera penciumanku selalu gagal mengidentifikasi, anyir menyekap sebagian paru-paruku, hingga sesak. aku tidak mati, aku masih hidup.
aku telah merengkuh mimpi tersulit dalam hidup ini. mimpi bahagia miliknya yang harus mengorbankan sebagian, bahkan seluruh hatiku untuk patah. mengabulkan tiap panjatan doa yang tak pernah sekalipun terarah untukku. menjalani musim dingin tanpa selimut tebal dan kehangatan lainnya. kulepaskan seluruh bagian tersesak dalam cerita ini. 'aku teramat merindukanmu', itu kalimat paling sumbang di antara kata serapah untukmu, (bukan, melainkan untukku).
di jalan penuh kerikil tajam ini, kakiku terhenti sejenak. mencoba amati langkah yang sejak kemarin tak pernah gontai lagi. sepasang sepatu yang manis telah mendekap telapak kaki. aku tak ingat siapa yang telah menempatkan sepatu ini di tengah jalan yang kulalui tanpa alas kaki. yang jelas, di bagian memori yang samar-samar tergambar di kepalaku, seseorang memapah tubuhku dan merawat seluruh luka hingga (hampir) sembuh. dan aku menyadari kembali, nampaknya kepalaku masih cukup nyeri untuk bisa bangkit dari dipan tua ini.
"aku telah menelan keinginan terpahitku sendiri, meskipun di tengah cerita terpaksa harus kumuntahkan lagi. aku telah menuruti semua keinginanmu, menjalankan tugas itu semampuku, dan kini aku harus melepas kenyamanan ini sembari melanjutkan perjalananku."
23 Agustus 2014
hari ini telah berhasil memuntahkan racun :)
melukis di atas cermin
dan bubuhkan serbuk warna warni
memantul di tiap gores telunjuk
persepsimu kian abstrak
membuat isi kepalamu
merapal makna
menggumam isyarat
cerminku terusap penuh
aku telah selesai melukis
ini kisahku
refleksimu,
Juni
(adindaretna, 2014)
hingga beku tak dapat menjangkau tubuhku lagi
rasanya kulitku telah mati
menerjang dingin terlaknat pun
ku hempaskan begitu saja
dan hingar bingar
riuh menepis segala memori
tertawakan sakit yang paling melukai
membunuh rasa "baik-baik saja"
sebutkan dosamu satu per satu
bukan aku tertusuk oleh dingin
ini terlalu pahit dan kejam
bahkan lebih buruk dari koma
aku tak mengenali senyum itu
aku tak ingat lagi definisi "kamu"
malang; delapan puluh lima kilometer per jam
jantungku mati rasa
terhempas semesta
mengenggam nyawa di jemari kanan
aku telah sesiap itu
aku telah seikhlas itu
***
17 Agustus 2014
"...kali kedua ku berlari. entah, kemanapun itu. menerobos besi raksasa tanpa rasa takut. hingga sepasrah itu. aku hanya ingin lepas, aku ingin sembuh. Malang, 85 km/jam, rasanya tubuhku melayang jauh. tapi setidaknya kutemukan tempat tuju. lagi-lagi mencari obat. meski aku tahu itu hanya ilusi. namun, setidaknya aku tak nyeri sehebat kemarin. iya, aku nyeri hebat di sekujur hati, mata dan kepalaku. kata seseorang, aku harus berhenti, tak boleh begini lagi. iya, aku akan berusaha. semoga ini kegilaanku yang terakhir kali. meski sempat nyeri, kini aku sama sekali tak merasakan apa-apa lagi. mungkin benar, aku telah mati rasa."
ini bukan tentang cinta, bukan
sepasang kaki terduduk di atas kursi taman
satu bersila, yang lainnya terayun
kadang sering berganti gaya
bukan tak mendengar kebisingan
namun seketika melenyap saja
ketika celoteh itu menelan gusar
mengikatnya ke dalam brankas
mengunci dan menenggelamkannya
serta merta memoar perih di tubuhnya
ketika sudut mata melancip
merekahkan tawa kita
dan sebatang cokelat turut dalam dialog
mengendus tiap luka, dibebat tiada ampun
agar tak lagi mengujar resah
sekali memutar percakapan lampau
kita di sudut kota bungkam
pernah tergigil bersama
dan saling merengkuh lewat hangat canda
saling munafik untuk menghabiskan rindu
tertatih mengeja tiap perpisahan
aku pun dia
terlalu kaku mengucap bahagia
~
~
~
ada satu kata tercuri
melalui lekuk pelipis matanya
"betapa beruntungnya aku telah bertemu denganmu"
sekali lagi, ini bukan tentang cinta
semalam, 14 agustus 2014
alun-alun kota batu
(adindaretna, 2014)
di suatu sore
membuncah kenangan
memaksa tuk izinkan hadir
sebelum maghrib mencerna senja
terduduk menikmati renyah tawa
dalam dekapan pohon
yang dahannya menguning
anakanak rakus bermain bola
di atas rumput meringkih
burungburung terbang bernafsu
sejoli berasmara tanpa panah
saling patahkan pandangan
menelusuri katakata bersemi
menggelora dan menuai pinta
aku mengeja harapan yang tumpul
menanti diretas ikrar kita
agar tak tenggelam dalam ekspektasimu
dan menuduh realita telah kejam
aku dikunyah cemburumu
lalu dimuntahkan tanpa sisa
mengatup jeda bait puisiku
tak pernah sampai runtut
kadang meleraimu hingga kau habis
menertawakan khilaf kemarin
kita, di bulan ketigapuluhdua
"aku menikam memoriku sendiri
dalam rengkuhan malam
di tempat yang sama
tanpa kamu"
suatu senja, di Lapangan Kodam Brawijaya Surabaya
(adindaretna, 2014)
mengeja namamu, jemariku lelah
kubiar sorot pensilku melaju saja
mengukir jalan terjal, batu kapur
terseok di langkah setapak
terjebak keputusasaan
tersapu heningnya pagi
kiranya ragaku mengendus
sebuah prasangka baikmu
mengucap namamu, mulutku kelu
layak jingga yang terlalu matangkan senja
padahal aku sang penakluk biru
jelaga mata buas milikmu
mungkin telah sanggup remukkan aku
yang kerap membangkang
definisi benci serta kecewa
mengingat namamu, batinku tercabik
di tiap jeda subuh menjelma embun
kau melenyap sembari mataku menutup
bangun dengan kalimat matahari
dicerna maksud kedatangan hujan
dan sembuhkan prahara langit
membran waktu bercinta
merengkuh namamu dalam doa, masih kulakukan
hingga uraturat menyatu dengan sajadah
menghisap sepanjang dimensi kata
sepertiga waktu bergelayut habis
mungkin tak sampai jauh
tak sampai ujung
bagimu sebuah kabar kematian
beku tanpa kenangan
tanpa wajah iba
(adindaretna, 2014)
sebuah pagi yang lusuh
tentang kepulanganmu
mengabadikan rasa
kehilangan
kabut menebarkan dingin
seolah mengantarmu pergi
melupakan cerita Juni
dan menyelesaikan bait kita
ada waktu tersisa
terpancar di kedua mata
aku ingin berpurapura
membenci, mencaci
agar aku kebal
ketika kautinggal lagi
barangkali kau kembali
menitipkan rindu, tak utuh
setiap sabtu petang subuh
kembali menghardik fajar yang lelah
barangkali kau mau pulang
kuseduhkan jahe hangat untukmu
luapkan lelah dan bersandarlah
kutemani meski ringkih
meski nyeri
barangkali kau rindu aku
lekas menatap malam
temukan aku di antara lainnya
aku menjelma dalam hampa, rupa
barangkali kau ingin menyapaku
di tiap satu langkah hengkangmu
tak berarti pula dikenang
cukup menengadahkan kedua telapak tangan
panjatkan pengharapan
barangkali aku mau kembali
barangkali aku mau pulang
barangkali aku rindu
barangkali aku ingin menyapa
cerita bulan Juni
(adindaretna, 2014)
hingga waktu tiba
saat terduduk mencemas dahandahan
menggugur tak berdaya
mengikhlaskan takdir
hening terendus sukma
akarpun tak kuasa sangsikan
mengertas sendu di kaki, tangannya
seolah marah
kadang diguyur cemburu
mengadu pada ranting
agar tak disesap khawatir
percuma mengutas rindu
bersenandung dalam ikrar semu
padahal tubuhnya direnggut luka
dan perlahan membebaskan diri
kemudian menanti, hingga petang
berseteru dengan hampa
menghardik senja, tak bergumam
dilepaskannya dari rahang langit
duriduri manis hujan
melukai tanpa sakit
menyakiti dengan tawa
ada kalanya lupa memetik kenyataan
di balik semak belukar
yang siap menerka wujud
dalam memoar penuh kabut
sembilu, meradang hebat, keruh
hingga tak mungkin lagi sempurna
baiklah, mari kita bersulang saja!!
menyudahi permainan dengan damai
namun, akar tawamu yang runcing
menghunjam setiap pembuluh jantungku
mari bergegas merapal aku!!
agar tak dikuasai ikrarmu
semu! palsu!
lekas teriakkan benci di dekat telingaku!
bangunkan aku!
sembuhkan!
lalu pergilah!
bawa pulang ribuan retorikaku yang tak butuh jawabanmu!
kubur dalamdalam
dan kini, tugasmu telah selesai, sayang
aku masih memandang pohon yang sama
sedang kau berada di antah berantah
yang tak pernah kuketahui
mungkin selamanya
(adindaretna, 2014)
/1/
bingkai memori meretak
serta merta seluruh dengki
atas kesakitan tawa pagi
kelak kausebut ini sebab
mengapa rindu betah menghuni
sebagian, sedemikian rupa hati
mengunci rapatrapat; kita (dulu)
menjadikannya abu, menghempas sakit
bilamana hujan menyibak
menelan habis tak tersisa
/2/
sore yang asing
ketika pilarpilar asa menjejali
kepala hingga habis ruang
sesak dihimpit dustamu
lelah menyudut pada prasangka
untuk sebuah kepulangan yang lekas
merampas seluruh ikrar
dari beberapa sudut imaji
aku sedang mati suri
dan menemuimu
di mimpi burukmu sendiri
/3/
kau melepas dahaga
sedangkan aku sibuk mengusap peluhmu
lelah itu kini sirna, sayang
kemudian aku hanyut
lalu terbangun siasia
setelah tikungan itu
(adindaretna, 2014)
pada rindu yg kubingkai
bergaris tepi puisi yang remuk
dikecap usianya sendiri; uzur
tak apalah asalkan masih wangi
rapuh sebab bertahan sendiri
singkirkan cemas sampai ke tepi
hilang segera lepas tertiup angin
menyadur makna dalam sebait
rasa terekam tak terhingga
anyir dicabik kemarahanmu
pada sudut koma; antah berantah
masih pekat dalam ampas kopimu
menggelap dan tak kunjung sudahi
mari hujankan kenanganmu disini
jangan takut mengecap pahit
aku akan serta-merta membujuk fajar
agar mau kembalikan langit petang subuh
dan asap yang mengepul di bilik rotan
kasat mata derita desember-mu
lekas mengais iba Sang Pemilik semesta
terkumpul dalam perih yang jamak
sebelum rindu menjelma jenuh
sebelum maghrib menjelma subuh
samar-samar dibebat acuh; habis
pulangkan pergi dalam tinggal
gerimis menusuk sekujur tubuh puisi
membunuh prasangka, mengubur dusta
pada petang memoar subuh
(Januari - 2014)
image courtesy by Google |