Sunday, October 19, 2014

analogi tiga: dahan yang patah

aku adalah ranting dahan yang sengaja kaupatahkan dari tubuh pohon yang kekar
jatuh terkulai lemas dan berusaha menumbuhkan diri dengan pijakan tanah yang lembab paska diguyur hujan
aku menodai takdirku, ingin berusaha tetap hijau dan tak mau menjadi keriput
mendekap rerumput basah, menjadikan tubuhku tetap lapuk sedemikian rupa
melupakan sebuah elegi yang rumit sembari petang segera menjemput gelap
aku diguyur kekhawatiranku, menghitung detik demi detik, sisa masaku untuk membusuk
menyatu dengan alas pijakanku, mendekapnya dalam aroma liat yang tajam
menanti hingga ruas tulangku menggelora ke dalam akar-akar
aku dihisap dan tubuhku dicecap habis
menerka-nerka bagian mana yang akan kusinggahi setelah itu
menjadikanku abadi yang sementara
selamanya dalam sekejap
tubuhku tak terdefinisi, serat-serat darahku mengakar dalam jantungmu
pada suatu senja yang melemahkan sebagianmu, aku berbisik
"sepertinya, aku mengenali tempat ini"
kau tertunduk diam dan lesu, tak satupun kata terucap di benakmu

pagi hari, cerah dan merona di atap langit yang kerap menghidupkanmu dari tidur panjang
aku menyaksikanmu runtuh, terpenggal menjadi beberapa bagian
matamu sayu, sulit membedakan sebab sakit atau hanya sekadar lelah
atau mungkin mati?
di pucuk tanaman hias kini aku bersemayam
menetap dengan jeda waktu yang tak pernah kutahu hingga kapan
menjalani skenario sebagai jiwa yang lain, mungkin juga masih jiwaku
menyuburkan pijakanku sendiri, memahami makna hidup
dan kamu, pohon kekar tak berdaya yang kini tergeletak lemas di hadapanku,
terimakasih pernah menjadi rumahku, pijakanku, untuk tempat berlindung, berdiam diri, merengkuh impian, menanam harapan, memetik langkah
terimakasih pernah menjadikanku bagian dalam hidupmu
dan terimakasih telah membuatku akhirnya menemukan pijakan baru, setelah sebelumnya merasa tak berdaya ketika meninggalkanmu

(adindaretna - 2014)

No comments:

Post a Comment