Friday, August 29, 2014

setangkai mawar

pagi pagi sekali hening menyambut kedatanganku
senyum merekah bougenville basah oleh embun cantik
hai, perkenalkan ia temanku
teman bersandingku kala pagi
ketika sejuk mendominasi taman ini
sebiru ini langitku
setenang ini menghirup pagiku
dan untuk pagi yang sudah sudah
terhirup wewangi kelopak mawar
lama lama anyir, membusuk
ternyata tangkai mawarku patah
dan sudah terlambat menyadari
aku berusaha mengobati
ternyata malah tanganku terluka
lalu kuacuhkan saja hingga berdarah darah
"(tak apalah) hingga habis"
pikirku (pendek)
sudah berulangkali aku belajar menggenggam setangkai mawar ini
sudah sejauh ini aku mencoba
namun selalu ada luka, selalu berdarah
apa yang salah?
jari jariku tak mampu merasakan nyeri lagi
sudah mati rasa
sudah sejauh ini aku mencoba menggenggam setangkai mawar ini
namun selalu berdarah
kuulangi lagi kalimat ini
apa yang salah?
jika memang jemariku tak pantas menggenggam setangkai mawar ini,
lantas apakah jemarinya sanggup melakukan ini tanpa berdarah? tanpa terluka?
salah siapa?
siapa salah?
jemarinya sama saja seperti jemariku
setangkai mawar akan selalu menjadi setangkai mawar
dan tak pernah berubah menjadi setangkai Chryssant
ini, setangkai mawar untukmu, tak lupa dengan duri duri khas di tubuhnya
nikmati genggamannya yang erat, ia akan memelukmu dengan sangat keras
mungkin akan lebih berdarah
mungkin akan lebih terluka
mungkin akan lebih merana

"selamat menikmati pagimu dengan setangkai mawarku yang penuh duri,
pagiku masih cerah meski tanpa tanaman mawar menghiasi taman ini"

(adindaretna, 2014)

nada sumbang

kadang masih menyesali plot yang terhenti di bagian ini, pada kalimat yang rumpal
namun jika kualunkan sekali lagi, nadanya pas dan sangat merdu didengar
kadang kau terus memikirkan beberapa cerita hidupmu yang seringkali mengalami patah sebagian
namun kau lupa jika pilihan Tuhan memang berat untuk diterima oleh akal sehatmu, lalu kau terlanjur menghardikNya dengan sebuah ungkapan 'tak (pernah) adil'

"di bagian mana nada yang kaudengar masih sumbang? masih terdengarkah kini jika kuubah dengan pilihan nada sesuai keinginanmu? masih lebih baik mana dengan pilihan nada dariku? lebih merdu mana? masih mengelak? kalau begitu, ini karma untukmu." - Tuhan.

(adindaretna - 2014)

Thursday, August 28, 2014

dialog kopi dengan senja

dialog kopi dengan senja
di suatu sudut meja kafe, sepasang penikmat kesendirian duduk berhadapan
saling tak mengenal
aku mengaduk kopi, sedang ia menyeruputnya
'kali ini kopiku terasa lebih manis dari biasanya', ucapmu
lantas, kita saling melepas pandangan
- permulaan kita, di suatu sore

seporsi donat tak utuh dengan dua gigitan di tepinya
barangkali ia sibuk menanti seseorang
wajahnya sering menajam pada mesin waktu
aku mainkan seribu cara untuk menepis cemas
kadang lengan cangkir kuremas
dan acuhkan dahaga yang meletup letup
mataku terjun bebas dari tatapan hangat
seorang lelaki rapih, yang sedari tadi mengetas hening
di hadapanku

deadline sialan!
andai saja ia menyadari satu hal
beberapa menitku terlewat dengan sia sia
tanpa dialog yang menjadikan angka angka ini
terasa lebih berharga, dibanding sunyi
dan andai saja ia juga menyadari
pantulan dari layar gadgetku
munculkan refleksinya, meski senyum tampak samar
siapakah ia? mengapa harus bertemu deadline di saat seperti ini?

kopiku sudah tak mengepul, begitupun -nya
sedari awal, aku telah yakin
tentang kata dalam hati yang meredam emosi akibat angka angka ini
tentang senyum yang membekas di ingatan
di suatu senja, kopiku lantas mengucap perpisahan
tetapi dialog sudah tak lagi membisu
aku menduga maksud Tuhan sore ini
rupanya aku, takdir sedang berjalan beriringan
mengajakku untuk menikmati kopi
dan merengkuh kisah di lengan cangkir miliknya

"hai! namaku senja. kamu kopi, kan?
ini sore yang indah, bukan?"

-fiksi, permulaan kita-

(adindaretna, 2014)

Sunday, August 24, 2014

analogi; menelan pahit

aku berjalan menyusuri jalan setapak yang pernah mereka inginkan. aku telah menapaki setiap kerikil dengan kakiku, kaki telanjangku, meski penuh darah mengalir dan membekas di tiap langkahnya. hingga (makin lama makin) mengering. aku telah sejauh ini, atau aku baru sampai disini?

kita berjalan beriringan dengan bahagia yang paling bahagia. kau ulurkan tanganmu, tapi tak pernah dapat kuraih lagi. kucoba membalas senyummu, tapi tak pernah bisa lagi bibir ini merekah seperti dulu. terlalu beku, sebab dingin yang amat terbiasa kurasakan, sendirian. aku lupa bagaimana cara mencium aromamu. indera penciumanku selalu gagal mengidentifikasi, anyir menyekap sebagian paru-paruku, hingga sesak. aku tidak mati, aku masih hidup.

aku telah merengkuh mimpi tersulit dalam hidup ini. mimpi bahagia miliknya yang harus mengorbankan sebagian, bahkan seluruh hatiku untuk patah. mengabulkan tiap panjatan doa yang tak pernah sekalipun terarah untukku. menjalani musim dingin tanpa selimut tebal dan kehangatan lainnya. kulepaskan seluruh bagian tersesak dalam cerita ini. 'aku teramat merindukanmu', itu kalimat paling sumbang di antara kata serapah untukmu, (bukan, melainkan untukku).

di jalan penuh kerikil tajam ini, kakiku terhenti sejenak. mencoba amati langkah yang sejak kemarin tak pernah gontai lagi. sepasang sepatu yang manis telah mendekap telapak kaki. aku tak ingat siapa yang telah menempatkan sepatu ini di tengah jalan yang kulalui tanpa alas kaki. yang jelas, di bagian memori yang samar-samar tergambar di kepalaku, seseorang memapah tubuhku dan merawat seluruh luka hingga (hampir) sembuh. dan aku menyadari kembali, nampaknya kepalaku masih cukup nyeri untuk bisa bangkit dari dipan tua ini.

"aku telah menelan keinginan terpahitku sendiri, meskipun di tengah cerita terpaksa harus kumuntahkan lagi. aku telah menuruti semua keinginanmu, menjalankan tugas itu semampuku, dan kini aku harus melepas kenyamanan ini sembari melanjutkan perjalananku."

23 Agustus 2014
hari ini telah berhasil memuntahkan racun :)

Tuesday, August 19, 2014

refleksi Juni

melukis di atas cermin
dan bubuhkan serbuk warna warni
memantul di tiap gores telunjuk
persepsimu kian abstrak
membuat isi kepalamu
merapal makna
menggumam isyarat
        cerminku terusap penuh

aku telah selesai melukis
ini kisahku
refleksimu,
Juni

(adindaretna, 2014)

Monday, August 18, 2014

malang; 85 km/jam

hingga beku tak dapat menjangkau tubuhku lagi
rasanya kulitku telah mati
menerjang dingin terlaknat pun
ku hempaskan begitu saja

dan hingar bingar
riuh menepis segala memori
tertawakan sakit yang paling melukai
membunuh rasa "baik-baik saja"
sebutkan dosamu satu per satu

bukan aku tertusuk oleh dingin
ini terlalu pahit dan kejam
bahkan lebih buruk dari koma
aku tak mengenali senyum itu
aku tak ingat lagi definisi "kamu"

malang; delapan puluh lima kilometer per jam
jantungku mati rasa
terhempas semesta
mengenggam nyawa di jemari kanan
aku telah sesiap itu
aku telah seikhlas itu

***

17 Agustus 2014
"...kali kedua ku berlari. entah, kemanapun itu. menerobos besi raksasa tanpa rasa takut. hingga sepasrah itu. aku hanya ingin lepas, aku ingin sembuh. Malang, 85 km/jam, rasanya tubuhku melayang jauh. tapi setidaknya kutemukan tempat tuju. lagi-lagi mencari obat. meski aku tahu itu hanya ilusi. namun, setidaknya aku tak nyeri sehebat kemarin. iya, aku nyeri hebat di sekujur hati, mata dan kepalaku. kata seseorang, aku harus berhenti, tak boleh begini lagi. iya, aku akan berusaha. semoga ini kegilaanku yang terakhir kali. meski sempat nyeri, kini aku sama sekali tak merasakan apa-apa lagi. mungkin benar, aku telah mati rasa."

Friday, August 15, 2014

aku, dia, cokelat dan tempat favorit kami

ini bukan tentang cinta, bukan
sepasang kaki terduduk di atas kursi taman
satu bersila, yang lainnya terayun
kadang sering berganti gaya
bukan tak mendengar kebisingan
namun seketika melenyap saja
ketika celoteh itu menelan gusar
mengikatnya ke dalam brankas
mengunci dan menenggelamkannya
serta merta memoar perih di tubuhnya
ketika sudut mata melancip
merekahkan tawa kita
dan sebatang cokelat turut dalam dialog
mengendus tiap luka, dibebat tiada ampun
agar tak lagi mengujar resah
sekali memutar percakapan lampau
kita di sudut kota bungkam
pernah tergigil bersama
dan saling merengkuh lewat hangat canda
saling munafik untuk menghabiskan rindu
tertatih mengeja tiap perpisahan
aku pun dia
terlalu kaku mengucap bahagia
~
~
~
ada satu kata tercuri
melalui lekuk pelipis matanya
"betapa beruntungnya aku telah bertemu denganmu"
sekali lagi, ini bukan tentang cinta

semalam, 14 agustus 2014
alun-alun kota batu

(adindaretna, 2014)

Tuesday, August 12, 2014

bulan ketigapuluhdua

di suatu sore
membuncah kenangan
memaksa tuk izinkan hadir
sebelum maghrib mencerna senja
terduduk menikmati renyah tawa
dalam dekapan pohon
yang dahannya menguning
anakanak rakus bermain bola
di atas rumput meringkih
burungburung terbang bernafsu
sejoli berasmara tanpa panah
saling patahkan pandangan
menelusuri katakata bersemi
menggelora dan menuai pinta
aku mengeja harapan yang tumpul
menanti diretas ikrar kita
agar tak tenggelam dalam ekspektasimu
dan menuduh realita telah kejam
aku dikunyah cemburumu
lalu dimuntahkan tanpa sisa
mengatup jeda bait puisiku
tak pernah sampai runtut
kadang meleraimu hingga kau habis
menertawakan khilaf kemarin
kita, di bulan ketigapuluhdua

"aku menikam memoriku sendiri
dalam rengkuhan malam
di tempat yang sama
tanpa kamu"

suatu senja, di Lapangan Kodam Brawijaya Surabaya
(adindaretna, 2014)

Monday, August 11, 2014

mengeja namamu

mengeja namamu, jemariku lelah
kubiar sorot pensilku melaju saja
mengukir jalan terjal, batu kapur
terseok di langkah setapak
terjebak keputusasaan
tersapu heningnya pagi
kiranya ragaku mengendus
sebuah prasangka baikmu

mengucap namamu, mulutku kelu
layak jingga yang terlalu matangkan senja
padahal aku sang penakluk biru
jelaga mata buas milikmu
mungkin telah sanggup remukkan aku
yang kerap membangkang
definisi benci serta kecewa

mengingat namamu, batinku tercabik
di tiap jeda subuh menjelma embun
kau melenyap sembari mataku menutup
bangun dengan kalimat matahari
dicerna maksud kedatangan hujan
dan sembuhkan prahara langit
membran waktu bercinta

merengkuh namamu dalam doa, masih kulakukan
hingga uraturat menyatu dengan sajadah
menghisap sepanjang dimensi kata
sepertiga waktu bergelayut habis
mungkin tak sampai jauh
tak sampai ujung
bagimu sebuah kabar kematian
beku tanpa kenangan
tanpa wajah iba

(adindaretna, 2014)

Sunday, August 10, 2014

cerita bulan Juni

sebuah pagi yang lusuh
tentang kepulanganmu
mengabadikan rasa
kehilangan
kabut menebarkan dingin
seolah mengantarmu pergi
melupakan cerita Juni
dan menyelesaikan bait kita
ada waktu tersisa
terpancar di kedua mata
aku ingin berpurapura
membenci, mencaci
agar aku kebal
ketika kautinggal lagi
barangkali kau kembali
menitipkan rindu, tak utuh
setiap sabtu petang subuh
kembali menghardik fajar yang lelah
barangkali kau mau pulang
kuseduhkan jahe hangat untukmu
luapkan lelah dan bersandarlah
kutemani meski ringkih
meski nyeri
barangkali kau rindu aku
lekas menatap malam
temukan aku di antara lainnya
aku menjelma dalam hampa, rupa
barangkali kau ingin menyapaku
di tiap satu langkah hengkangmu
tak berarti pula dikenang
cukup menengadahkan kedua telapak tangan
panjatkan pengharapan
barangkali aku mau kembali
barangkali aku mau pulang
barangkali aku rindu
barangkali aku ingin menyapa
cerita bulan Juni

(adindaretna, 2014)

terimakasih, hujan

terimakasih, hujan
atas peluk hangat
meski terkadang tanganmu
kerap penyebab gigil mereka
kerap jadikan harap
doadoa petani
pada temaram langit sendu
tentang sudut awan
menggenang, tak dikenali
bermuara singkat lalu menderas
satu per satu menggelora
sebabkan lengkung simpulku
anakanak bersuka cita
berlari mengitari pematang sawah
tatkala Dia mengizinkanmu pulang
dan merangkul gersang
mengikat harapan tak bermuat
menjadikannya kupukupu
makin merona, seperti matahari
aku dibelai rintik yang lembut
tak sakit sama sekali
ada kalanya jeda di antara kita
hanya sebatas kelopak bunga
dan tangkainya yang lekat
definisikan bahagia kepada dahan
yang mau menetap lama
meski tak (pernah) utuh
meski (seringkali) dipisah elegi
hujan kembali hadir
pada setiap doa yang terpanjat
atas kering yang mengakar
atas gersang yang mencengkeram
eraterat; tak mau pergi
haus ingin disudahi
"malam ini aku kehujanan, tapi aku sama sekali tak merasa kedinginan. justru ia menghangatkan aku dari kebekuan."
suatu malam yang dingin, Alun-alun Batu
pukul: 22.25 WIB.
dan terimakasih untuk kamu, sebagai hujan, sahabat, tempat sampah, sopir, dan partner, gaes :)

hingga waktu tiba

hingga waktu tiba
saat terduduk mencemas dahandahan
menggugur tak berdaya
mengikhlaskan takdir
hening terendus sukma
akarpun tak kuasa sangsikan
mengertas sendu di kaki, tangannya
seolah marah
kadang diguyur cemburu
mengadu pada ranting
agar tak disesap khawatir
percuma mengutas rindu
bersenandung dalam ikrar semu
padahal tubuhnya direnggut luka
dan perlahan membebaskan diri
kemudian menanti, hingga petang
berseteru dengan hampa
menghardik senja, tak bergumam
dilepaskannya dari rahang langit
duriduri manis hujan
melukai tanpa sakit
menyakiti dengan tawa
ada kalanya lupa memetik kenyataan
di balik semak belukar
yang siap menerka wujud
dalam memoar penuh kabut
sembilu, meradang hebat, keruh
hingga tak mungkin lagi sempurna
baiklah, mari kita bersulang saja!!
menyudahi permainan dengan damai
namun, akar tawamu yang runcing
menghunjam setiap pembuluh jantungku
mari bergegas merapal aku!!
agar tak dikuasai ikrarmu
semu! palsu!
lekas teriakkan benci di dekat telingaku!
bangunkan aku!
sembuhkan!
lalu pergilah!
bawa pulang ribuan retorikaku yang tak butuh jawabanmu!
kubur dalamdalam
dan kini, tugasmu telah selesai, sayang
aku masih memandang pohon yang sama
sedang kau berada di antah berantah
yang tak pernah kuketahui
mungkin selamanya

(adindaretna, 2014)

bingkai memori

/1/

bingkai memori meretak
serta merta seluruh dengki
atas kesakitan tawa pagi
kelak kausebut ini sebab
mengapa rindu betah menghuni
sebagian, sedemikian rupa hati
mengunci rapatrapat; kita (dulu)
menjadikannya abu, menghempas sakit
bilamana hujan menyibak
menelan habis tak tersisa

/2/
sore yang asing
ketika pilarpilar asa menjejali
kepala hingga habis ruang
sesak dihimpit dustamu
lelah menyudut pada prasangka
untuk sebuah kepulangan yang lekas
merampas seluruh ikrar
dari beberapa sudut imaji
aku sedang mati suri
dan menemuimu
di mimpi burukmu sendiri

/3/
kau melepas dahaga
sedangkan aku sibuk mengusap peluhmu
lelah itu kini sirna, sayang
kemudian aku hanyut
lalu terbangun siasia
setelah tikungan itu

(adindaretna, 2014)