Sunday, May 15, 2011

lengkungan palsumu

Kuakui, diriku masih terbelenggu tiada daya dalam lengkungan palsu yang mirip dengan senyummu.
Memang benar adanya, segurat garis membusur milikmu sanggup memabukkan sekuntum harapan yang baru saja mengembun di dalam kelopak laraku.
Hingga langkah kecil ini tertahan manis di jurang persimpangan dan tak mampu menginjakkan kepastian pada jejak putusan.
Entah mungkin kau akan sangat puas menyaksikan hamparan kegundahanku.
Namun lagi-lagi segurat garis lengkung berhasil memoles indah rona kesadisanmu.
Pantas saja, luka di batin ini tak kunjung mengering.
Harusnya ku sadar sendiri, meski pahitnya memaksa nurani untuk segera pergi.
Dan senja hari ini masih saja termenung, seakan mengasihani diriku yang enggan untuk menyambut separuh kegelapan, dimana langitku sudah tak terhias bintang darinya lagi...



Teruntuk:
sesosok bayangan pendusta di akhir penantianku yang malam itu tak henti-hentinya tertawa lepas dengan ditemani secangkir dingin kopi hitam pujaannya.

1 comment:

  1. Kopiku sudah dingin, dingin.
    Kembung.
    Ya, kopi dingin selalu membuat kembung peminumnya, dan aku benci.
    Kau tahu itu?
    Kau tahu, akulah penggila kopi, namun kopi panas.
    Aku tak mau kembung, sakit, dan lain.
    Kopiku harus panas.
    Kopiku sudah dingin, dan kini aku kembung.
    Kembung ini menyerang hati dan perasaanku.
    Tante Dinda, mari minum kopi yang baru, kopi yang awet panasnya dan tak pernah membuat kita kembung.

    ReplyDelete