Sunday, February 13, 2011

#Review Puisi : "Hei! Jangan Kau Patahkan"

HEI! JANGAN
KAUPATAHKAN

Hei! Jangan kaupatahkan
kuntum bunga itu
ia sedang mengembang;
bergoyang-goyang dahan-dahannya
yang tua
yang telah mengenal
baik, kau tahu,
segala perubahan cuaca.
Bayangkan: akar-akar
yang sabar menyusup
dan menjalar
hujan pun turun setiap
bumi hampir hangus
terbakar
dan mekarlah bunga itu
perlahan-lahan
dengan gaib, dari rahim
Alam.
Jangan; saksikan saja
dengan teliti
bagaimana Matahari
memulasnya warna-
warni, sambil
diam-diam
membunuhnya dengan
hati-hati sekali
dalam Kasih-sayang,
dalam rindu-dendam
Alam;
lihat, ia pun terkulai
pelahan-lahan
dengan indah sekali,
tanpa satu keluhan.
(Sapardi Djoko Damono, dalam bukunya Hujan Di Bulan Juni - hal. 13)


Puisi diatas adalah puisi yang paling saya sukai dari kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono dalam buku "Hujan Di Bulan Juni". Entah mengapa ketika membaca puisi ini saya sangat kagum dengan diksi yang dipakai beliau. Sederhana namun merasuk. Seperti pada kalimat "saksikan saja dengan teliti bagaimana Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam membunuhnya dengan hati-hati sekali". Sungguh lihai, makna yang dapat kita tangkap dari kalimat di atas adalah peran matahari yang mampu 'menghidupkan' juga 'mematikan' tanaman. Maksudnya adalah, seperti yg kita ketahui, matahari dibutuhkan tanaman untuk proses fotosintesis. Sepanjang masa tanaman tsb hidup, ia akan menghasilkan bunga atau buah yg berwarna-warni. Disinilah makna dari matahari "memulas warna-warni". Namun, matahari juga mampu 'memusnahkan' tanaman tsb seperti pada pilihan kata "sambil diam-diam membunuhnya dengan hati-hati sekali". Ketika musim kemarau, di saat hujan pergi sejenak untuk beberapa waktu, perlahan tapi pasti tanaman juga akan terbunuh seiring kemarau menguasai musim. Disinilah hebatnya, sang penyair menyebutkan kata membunuhnya dengan hati-hati sekali. Sangat nampak pada kata 'sekali' yg menggambarkan betapa sangat hati-hatinya sang matahari membunuh para tanaman pada musim kemarau, meski itu bukan keinginannya. Ia membunuh dengan perlahan-lahan juga dengan kasih sayangnya, sehingga tanaman pun akhirnya mati terkulai tanpa satu keluhan. Benar-benar menakjubkan. Saya suka puisi ini, dan tentunya salut kepada sang penyair :)

1 comment: